Kisah si Penginjil yang mendapat Hidayah

[muslim_binus] Kisah si Penginjil yang mendapat Hidayah




Misionaris Bermimpi Bertemu Rasulullah saw



Nama saya Iselyus Uda, istri saya Maria Juana. Lima belas tahun saya

menjadi penginjil di Kalimantan Tengah sampai akhirnya saya bertemu

dengan seorang laki-laki dalam suatu mimpi.



Tidak pernah terbayang kalau kelak saya akan menginjakkan kaki di tanah

haram yang dirindukan umat Islam. Bahkan tak pernah terpikir saya akan

memeluk agama Islam yang tadinya saya benci. Sebab, sejak kecil saya dan

istri biasa hidup di lingkungan adat yang sama sekali bertentangan

dengan ajaran Islam.



Dulu, suku Dayak dikenal sebagai pengayau tengkorak manusia. Memburu

kepala musuh, baik sesama suku maupun suku lain, merupa-kan pilar utama

budaya dan kepercayaan kami lantaran kepala yang baru dipenggal sangat

penting bagi terciptanya kesejahteraan seisi kampung. Sementara

tengkorak lama makin luntur kekuatan magisnya. Untuk itu, dibutuhkan

perburuan terus menerus yang menyebabkan sering terjadinya peperangan,

baik antar suku ataupun dengan masyarakat luar.



Jasa Penginjil



Sebetulnya agama Islam sudah tersiar di tanah Jawa sejak abad 15,

terutama di Kutai dalam wilayah kerajaan Hindu Mulawarman yang kini

termasuk Provinsi Kalimantan Timur. Namun masyarakat Dayak tidak

tertarik untuk menganut agama Islam karena kami dilarang beternak babi

atau berburu celeng dan memakan dagingnya. Islam juga melarang umat-nya

memelihara anjing. Padahal, babi dan anjing sudah menyatu dengan

kehidupan kami dan tidak mungkin terpisahkan dari upacara adat dan

ritus-ritus nenek moyang.



Tak seorangpun penganjur Islam yang pernah memberitahu adanya

keringanan-keringan



an tentang najis anjing dan babi, serta tidak terlalu memaksa seseorang

yang baru bersyahadat agar segera dikhitan. Seakan keringanan itu

sengaja di- sembunyikan. Yang kami ketahui, kalau memeluk agama Islam

kami harus meninggalkan adat-istia-dat neneng moyang. Sedikit saja

menyimpang dan tetap melaksanakan tradisi nenek moyang, kabar-nya kami

akan dituduh musyrik dan masuk neraka. Bukankah itu menyakitkan dan

mengerikan?



Berbeda dengan sikap penginjil, baik dari kalangan Katolik maupun

Protestan. Mereka datang berduyun-duyun membawa hadiah, ilmu dan

pengetahuan baru yang dapat mengubah cara hidup kami tanpa mengharubiru

adat istiadat dan ritual nenek moyang. Mereka merambah ke

kawasan-kawasan terpencil, perang antar suku tidak pernah terjadi lagi

berkat jerih payah mereka. Kebiasaan mengayau kepala manusia sudah lama

kami ting-galkan, juga agama asli. Dan hal itu terjadi tanpa memusnahkan

upacara adat dan tradisi.



Misionaris Yang Sukses



Sungguh mereka banyak berbuat untuk suku Dayak, termasuk saya dan

keluarga, yang sebagai pengikut Yesus dan Bunda Maria, segala kebutuh-an

hidup kami selalu dipenuhi, oleh karena itu, untuk menanggung delapan

orang anak dan seorang istri , saya tidak pernah mengeluh walaupun saya

hanya sebagai penginjil Katolik.



Sudah tak terhitung banyaknya penduduk yang dapat saya ajak masuk

gereja. Apalagi sejak saya dianugerahi amanat memimpin umat Katolik di

desa Bangkal oleh gereja Sampit. Makin menggebu-gebu semangat saya untuk

mengibarkan panji-panji sang juru selamat dan menegakkan palang salib di

berbagai penjuru. Saya tanamkan iman Kristiani kepada masyarakat

kecamatan Danau Sembuluh tanpa pandang bulu. Malah cita-cita saya tidak

saja menasranikan rakyat Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur,

melainkan juga seluruh pelosok Provinsi Kalimantan Tengah.



Tiga tahun saya menebarkan ayat-ayat Injil di mimbar gereja dan di

berbagai persekutuan doa di desa Bangkal dan desa-desa lainnya. Kemudian

saya dipercaya pula untuk mengumandangkan misi gereja di kecamatan

Cempaga sejak tahun 1978.



Berkat kegigihan saya, hingga hampir segenap waktu saya tersita oleh

kegiatan pelayanan rohani, bahkan saya berhasil mengajak umat dan se-mua

pihak untuk bersama-sama membangun gereja yang cukup besar lengkap

dengan asramanya.



Keyakinan Fatamorgana



Dua tahun saya bekerja, memeras tenaga dan pikiran demi kejayaan agama

Katolik melalui gereja yang saya dirikan. Sungguh bangga hati saya,

sungguh mantap kaki saya. Namun dibalik kepuasan batin itu ada sesuatu

yang terngiang-ngiang jauh di dasar sanubari saya. Entah mengapa dan

darimana datangnya tuntutan itu, tidak pernah terungkap sama sekali.

Yakni tanda tanya yang tak mampu saya jawab meskipun telah saya gali

lewat firman-firman suci. Apakah betul jalan saya berasal dari Tuhan?

Tidak kelirukah keyakinan saya itu?.



Kebimbangan tersebut betul-betul sangat menyiksa hidup saya dan mengusik

ketentraman batin. Seolah ada sebuah lubang pada diri saya yang tidak

mampu saya tutupi, malah saya rasa makin lama makin dalam dan lebar.

??Ya Tuhan, kalau Engkau Maha Kuasa dan Maha Penyayang, tunjukkanlah

kebenaran yang sempurna?? demikian ratap saya tiap malam tatkala suasana

sedang lengang dan kesunyian sedang mencekam sambil saya genggam rosario

--kalung salib-- erat-erat.



Saya menggapai-gapai bagaikan hampir tenggelam di tengah-tengah samudera

kehampaan. Saya berteriak nyaring di tengah gurun kesunyian. Saya merasa

ditinggalkan sendirian dalam sebuah lorong gelap dan pengap setelah

seberkas cahaya yang tadinya saya jadikan pedoman kian buram dan hampir

padam. Saya merindukan sinar terang yang tidak menipu saya dengan

bercak-bercak fatamorgana. Saya mendambakan jalan lurus menu-ju haribaan

Tuhan yang sejati dan hakiki.



Mimpi yang menakjubkan



Tiba-tiba, pada suatu malam menjelang akhir Oktober 1980, ketika

kesibukan untuk mengabarkan Injil mencapai puncaknya, saya didatangi

mimpi yang sangat aneh. Seorang lelaki berjenggot rapi mengunjungi saya

antara tidur dan jaga. Pundak saya ditepuk dan tangan kanan saya

ditariknya. Saya menoleh, betapa takjub saya melihat sosok manusia yang

begitu tampan dalam usia bayanya. Berpakaian serba putih dengan rambut

berombak tertutup selembar kain halus yang juga berwarna putih, ia

tampak sangat agung dan anggun. Saya merasa damai oleh pandangan dan

senyumnya.



Dituntunnya saya menjelajahi hamparan tanah yang tandus menuju sebuah

gurun pasir yang luas dan gersang. Anehnya, meskipun matahari terik

membakar, saya justru merasakan kesejukan yang indah dan menawan, seolah

gumpalan awan besar menaungi kami berdua.



Ketika tiba di suatu tempat yang asing dan sakral, ia mempersilakan saya

masuk, saya melihat ribuan manusia bergerak mengelilingi sebuah bangunan

berbentuk kubus sambil berlari-lari kecil, di antara mereka ada yang

sedang bersujud dengan khusyu??, banyak pula yang berebutan mencium batu

hitam kebiruan yang menempel di dinding kubus itu, begitu saya datang,

kerumunan manusia tadi menyibakkan diri memberikan kesempatan kepada

saya untuk memeluk dan mencium batu berkilat itu sepuas hati. Amboi,

alangkah harum-nya, alangkah tenteramnya jiwa saya.



Setelah itu ia mengarak saya bersama berbagai awan ke tempat lain yang

pemandangannya amat berbeda, tetapi suasananya sama, penuh keagungan,

saya bertanya, ??Bangunan apa yang teduh ini??? Ia menjawab,??Ini yang

dinamakan Masjid Nabawi.??



Sebagai penginjil saya pernah mengenal istilah itu, sebab mempelajari

agama-agama lain adalah modal untuk membeberkan kebenaran kami dan

membongkar kelemahan mereka. Oleh karena itu saya terkejut, mengapa saya

dibawa kemari?

??Gundukan tanah yang ditengah itu untuk apa???

kembali saya bertanya,

??Itu makam Nabi Muhammad.?? sahutnya.



Mendengar penjelasan itu sayapun makin kaget. Nabi Muhammad adalah

pembawa ajaran Islam, ada hubungan apa dengan saya sampai saya diajaknya

berziarah ke situ? meski beribu kebingungan menyemak di hati,

sekonyong-konyong, tanpa dimintanya saya bersimpuh di depan kuburan yang

sederhana itu, Air mata saya menetes. Saya terharu walaupun tidak tahu

kenapa.



Betapa mulianya pemimpin kaum Muslimin itu yang pengikutnya ratusan juta

orang, tetapi makam-nya begitu bersahaja, yang ajarannya ditaati

umatnya, namun kematiannya tidak boleh diratapi. Saya terpana sangat

lama sehingga tatkala saya sadar kembali, lelaki yang mengantar saya

tadi telah menghilang kedalam kuburan itu.



Panggilan hati



Saya ceritakan mimpi ini kepada istri dan anak-anak, mereka terkesima,

istri saya berkaca-kaca, saya tidak mengerti apa sebabnya. Barulah pada

malam harinya, ketika kami cuma berdua, ia berkata, ??saya yakin itu

bukan sekedar mimpi. Itu panggilan. Dan kita berdosa kepada Tuhan bila

tidak mau mendatangi panggilan-Nya.??, ??Maksudmu??? saya tidak paham

akan maksud istri saya. ??Kita tanya kepada orang yang ahli agama Islam.

Siapakah lelaki baya yang mengajak abang itu, dan apa makna mimpi itu.

Kalau memang benar merupakan panggilan Tuhan, berarti kita harus masuk

Islam,??jawab istri saya tanpa ragu-ragu.



Sayalah yang justru dilanda kebimbangan, terombang-ambing dalam iman

Kristiani yang makin goyah. Apalagi tiap kali teringat akan salah satu

surah al-Qur??an yang pernah saya pelajari,



??Tuhanmu adalah Allah yang Maha Tunggal, Yang Tidak Beranak dan Tidak

Diperanakkan??



Saya ingin lari menghindari dengungan batin itu, namun keyakinan saya

tak cukup kuat untuk menahan deburan ayat-ayat suci al-Qur??an.

Untungnya pada tahun 1983 gereja Sampit memindahkan saya ke Medan di

desa Resettlement untuk mengobarkan semangat Injil pada masyarakat

setempat, saya terima dengan setengah hati sebab semangat Injil saya

sedang meluntur ke titik paling rawan. Anehnya, saya merasa bahagia

menerima keadaan itu, lebih-lebih ucapan istri saya yang tak pernah

lenyap dari pendengaran saya. ??Kalau mimpi itu merupakan panggilan

Tuhan, kita berdosa jika tidak mendatangi-Nya. Kita harus masuk Islam.??



Masuk Islam



Akhirnya, awal Maret 1990 saya sekeluarga mengunjungi KUA Mentawa Baru

Ketapang, sesudah lebih dulu mendapat penjelasan dari seseorang yang

saya percayai memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam. Ia

mengatakan bahwa lelaki dalam mimpi saya adalah Nabi Muhammad saw.

Diterangkannya lebih lanjut bahwa tidak semua orang, termasuk kaum

Muslimin, bisa memperoleh kehormatan bertemu dengan Nabi saw dalam

mimpi. Dia meyakinkan saya bahwa mimpi itu bukan dusta, bukan kembang

tidur. Sebab, Iblis tak sanggup menyerupai Nabi saw walaupun ia bisa

menyamar sebagai Malaikat.



Itulah yang kian memantapkan tekad saya sekeluarga untuk memeluk ajaran

Islam, maka dengan bimbingan Mahali, BA, kami mengucapkan dua kalimah

syahadat disaksikan oleh para pendahulu kami, Arkenus Rembang dan

Budiman Rahim, dari Kantor Departemen Agama Sampit. Nama saya Iselyus

Uda diganti dengan Muhammad Taufik; istri saya menjadi Siti Khadijah.

Begitu pula kedelapan anak saya yang memperoleh nama baru yang

diambilkan dari al-Qur??an. Sepulang dari upacara persaksian itu dada

saya terasa sangat lapang dan dunia makin benderang. Tengah malam saya

mengangkat kedua tangan dan menggumam,??Ya Tuhan, terpujilah nama-Mu,

telah datang Kerajaan-Mu, kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah, untuk

anugerah kebenaran ini.??



Menebus mimpi



Sejak hari paling bahagia itu saya mulai berangan-angan, kapankah

pemandangan dalam mimpi saya dulu itu bisa terwujud. Saya merindukan

tanah suci tempat kelahiran Nabi ?? dan tempat makamnya, yaitu Makkah

dan Madinah. Tanpa kuasa Allah SWT, rasanya mustahil terlaksana

mengingat ekonomi saya tidak secerah semasa menjadi penginjil, akan

tetapi saya tidak mengeluh. Memang pada segi materi terjadi penurunan,

tetapi dari segi yang lain kehidupan kami bertambah makmur, sejahtera

dan penuh berkah.



Kekurangan kami sedikit, kami anggap biasa, itulah ujian iman. Materi

bukanlah segala-galanya yang penting anak-anak dapat melanjutkan sekolah

mereka dan kebutuhan sehari-hari kami tercukupi. Adapun hidup lebih

bukanlah tujuan utama. Buat kami sudah puas dengan kaya di hati dan

rezeki yang halal.



Saya tidak tahu apakah keikhlasan itu diterima Tuhan, ataukah lantaran

sudah tertulis dalam takdir-Nya bahwa saya sekeluarga harus menjadi

muslim dan muslimat yang kuat. Peristiwa yang terjadi dua pekan setelah

kami masuk Islam membuat saya makin bersyukur kepada Allah SWT, yaitu

ketika Kakandepag Kotawaringin Timur, Drs. H. Wahyudi A. Ghani, bertamu

ke rumah saya di Desa Resettlement. Ia tidak hanya bertandang, tetapi

mengantarkan tebusan mimpi.



Ia mengabarkan bahwa Menteri Agama, H. Munawir Syadzali, MA, menaruh

simpati kepada saya dan berkenan memberangkatkan kami suami istri untuk

menjalani ibadah umrah. Subhanallah, alangkah Akbarnya Engkau, alangkah

luas kasih sayang Engkau. Sungguh saya tidak mampu menggoreskan pena

atau menggerakkan lidah guna menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan

saya.



Tidak bisa lain yang menggugah hati Menteri Agama, pasti Allah Yang Maha

Kuasa. Tanpa kehendak-Nya mana mungkin seorang menteri memperhatikan

seorang warga desa terpencil di Kalimantan Tengah ini, padahal

kegiatannya selaku menteri tidak kepalang sibuknya. Saya dan istri

langsung sujud syukur di hadapan Allah SWT. Kamipun berangkat ketanah

suci tahun 1991.



Akhirnya, kami kesampaian mewujudkan pemandangan dalam mimpi dengan

melaksanakan thawaf mengelilingi Ka??bah, menunaikan sa??i antara bukit

Shafa dan Marwah, serta berziarah ke makam Nabi Muhammad saw.



Agaknya doa kami di tempat-tempat mustajab di Makkah dan Madinah mulai

dikabulkan-Nya. Sekembalinya dari tanah suci ada seorang hartawan yang

tidak ingin disebut namanya, mewakafkan sebidang tanah kepada saya.



Saya berniat menghabiskan sisa umur saya untuk menebus dosa-dosa pada

masa silam tatkala lima belas tahun lamanya saya bekerja keras

memurtadkan umat Islam dan merayu banyak orang agar mengikuti keyakinan

saya kala itu. Ihdinashshirathal mustaqim.

Kebanyakan sumber permasalahan adalah cara berkomunikasi!!!

klik disini
print this page Print this page

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

View Visitors

free counters

Kotak Sms

Make Widget
KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia